Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pahlawan Tempat Duduk

Gambar diambil dari sini
“Yak, terus!” Teriak kernet, tepat setelah aku melompat naik dan melewati pintu bus. Kuedarkan pandangan. Semua kursi sudah terisi. Bahkan, lorong bus sudah hampir penuh oleh penumpang.
Aku berpegangan kuat pada besi di dekat pintu masuk. Lorong bus didominasi anak sekolah. Kulirik salah satu kursi di dekatku berdiri. Seorang siswa SMA duduk di sana. Matanya terpejam, seolah tertidur. Padahal aku ingat betul, saat aku baru naik, ia masih terlihat asyik mengobrol dengan siswi di sebelahnya. Hhh… Terlaaaluh! Batinku.
Tapi sudahlah. Toh barangkali tempat duduk itu ia dapatkan dengan penuh perjuangan. Mengingat betapa rajinnya bus menaikkan penumpang, kendati kondisi di dalamnya sudah macam ikan di dalam jaring nelayan. Berdesak-desakan.
Namun aku yakin, ia akan menyilakan aku duduk andai ia tahu bahwa  hal itu akan membuatnya menjadi pahlawan. Ya. Pahlawan tempat duduk. Seperti aku dulu.
Saat itu, aku masih duduk di kelas tiga SMP. Bus sudah menjadi angkutan langgananku. Berdiri dan berdesak-desakan di bus, sudah biasa. Begitu pun mencium bau asam ketiak kernet yang mondar-mandir menagih ongkos.
Mendapat tempat duduk di bus, tentu adalah hal yang sangat istimewa. Nikmat betul, rasanya. Ibarat rakyat jelata, yang mendadak diangkat menjadi raja. Hehehe….
Tapi suatu hari, nikmat duduk yang kurasakan terusik. Bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Seorang ibu, beserta dua anaknya. Saat itu, posisi mereka cukup jauh dariku. Dekat dengan pintu masuk bus bagian depan. Sementara aku duduk di kursi dekat pintu belakang.
Sebagai anak sekolah, sebenarnya aku berprinsip, bahwa penumpang umum harus diutamakan. Entah itu bapak-bapak, ibu-ibu, apalagi kakek nenek. Ongkosku saat itu hanya dua ribu. Sementara mereka? Bisa jadi puluhan ribu. Alangkah kasihannya jika mereka tetap harus membayar mahal walau tidak mendapat tempat duduk.
Tapi… Aku kan, baru duduk…. Egoku membisikiku.
Aku menunggu tindakan teman teman sekolahku yang duduk di dekat ibu itu. Mereka kan, laki-laki. Harusnya mau ngalah, dong! Sayangnya, mereka tetap bergeming. Bahkan, ada yang pura-pura tidur segala. Aaaarggh!
Kuamati ibu itu. Berdesak desakan. Kerepotan memegangi dua anak sekaligus mengondisikan tubuhnya agar tetap seimbang. Ah, andai ibu itu adalah ibuku dan anak itu adalah aku…
“Bu, duduk sini!” Kupanggil ibu itu, seraya berdiri dari tempat dudukku. Rupanya, nuraniku telah mengalahkan egoku.
Ibu itu menoleh. Matanya berbinar, melebihi binar batu akik yang kini banyak dikoleksi dan diperbincangkan.
Susah payah, ibu itu berjalan menuju kursiku. Kubantu ia dengan menyambut tangan kedua anaknya.
“Matur nuwun, Nduk…” Ujarnya, berterimakasih. Aku hanya tersenyum. Ada bahagia di dadaku, melihat senyum ibu itu. Walau aku harus kembali berdiri dan berdesakan setelah itu.
Lama waktu berlalu sejak kejadian itu. Hingga suatu hari di kelas dua SMA, kudengar seorang guruku bercerita.
“Dulu, istri Bapak pernah naik bus dari suatu tempat. Bawa anak dua orang. Di bus desak desakan. Kasihan ibu. Waktu itu lagi nggak enak badan. Bapak ndak bisa menemani karena sedang ada urusan.”
Aku tertegun. Merasa dejavu, mendengar cerita guruku.
“Banyak siswa yang duduk. Tapi ndak ada yang mau ngasih tempat duduk buat ibu. Alhamdulillah, ada siswi yang di kursi belakang manggil ibu dan mempersilakan duduk di kursinya. Ibu sangat terkesan. Sampai sekarang ibu masih keingetan. Ini sepele, Nak. Cuma ngasih tempat duduk. Tapi bagi orang yang membutuhkan, itu adalah tindakan seorang pahlawan.”
Aku menunduk. Berharap guruku tak menyadari bahwa tokoh dalam cerita itu adalah aku. Maafkan aku, Pak. Aku tidak pantas disebut pahlawan. Sebab waktu itu, aku pun sempat ragu memberi tempat dudukku pada ibu.
Lamunanku buyar, ketika bus berhenti di depan sebuah SMA. SMA ku dulu. Siswa yang pura-pura tidur itu membuka mata dan berdiri. Oh, sekolah di sini dia, rupanya.
“Duduk, Bu,” ujarnya padaku, sebelum turun.
Aku tersenyum
“Makasih, udah jadi pahlawan,” kataku. 
Siswa SMA itu menatapku. Bingung.

Posting Komentar untuk "Pahlawan Tempat Duduk"